Minggu, 15 Maret 2009

Bahaya Iklan Rokok Nidji

Bahaya Iklan Rokok Nidji
Oleh
Sudaryono Achmad*


Di kamar kecil 12 meter kubik,
sambil ‘ek-’ek orang goblok merokok,
di dalam lift gedung 15 tingkat
dengan tak acuh orang goblok merokok,
di ruang sidang ber-AC penuh,
dengan cueknya, pakai dasi,
orang-orang goblok merokok.

(Taufik Ismail, Tuhan Sembilan Senti)

Tayangan iklan rokok di televisi yang dibintangi group band Nidji sempat luput dari perhatian publik. Maklum, mungkin kita termakan hingar bingar politik 2009 yang semakin ramai dan penuh kekonyolan itu. Untungnya, Seto Mulyadi, dari Komisi Nasional Perlindungan Anak, sempat menaruh perhatian. Dengan melayangkan surat protes yang terpublikasikan media. Intinya, menolak tayangan iklan tersebut. Pasalnya, dengan iklan tersebut, sama saja mengajak anak-anak muda kita untuk akrab dengan rokok. Padahal, sudah jelas dalam dunia medis, rokok amat buruk bagi kesehatan. Setidaknya mengandung 4000 zat kimia berbahaya. Beberapa diantaranya menyebabkan kanker.


Saya akur dengan surat protes tersebut. Saya kira tayangan iklan tersebut memang layak dipersoalkan karena berpotensi punya dampak buruk bagi publik. Dalam dunia bisnis, mungkin iklan tersebut wajar adanya. Lewat wawancara yang dilakukan detik.com, dari pihak group band Nidji pun mengaku bahwa iklan tersebut semata-mata hanya bermotif mencari uang. Tidak ada maksud lain. Karena ada surat protes, mereka mengaku akan memikirkan ulang kemunculan iklan tersebut. Dari sini kita tahu, hanya dua pihak yang diuntungkan, dari pihak Nidji dan produsen rokok. Sementara, publik hanya dijadikan target, sasaran dan korban saja.

Bagi saya, langkah surat protes tokoh yang akrab dipanggil Kak Seto itu penting bagi penguatan wacana publik dalam soal anti rokok. Apalagi saat ini, sekelompok masyarakat yang peduli terhadap nasib bangsa ini juga sedang berjuang dalam soal tata kelola tembakau. Mereka menamakan diri “Masyarakat Peduli Bahaya Tembakau”. Saat ini mereka sedang bergerilnya mencari dukungan “Petisi untuk Ratifikasi Konvensi Pengendalian Tembakau”.

Alasan mereka cukup logis. Data-data yang dipaparkan pun sulit dibantah. Laporan Badan Kesehatan Dunia (WHO) 2008 menyatakan bahwa Indonesia saat ini adalah negara terbesar ketiga pengguna rokok. Lebih dari 60 juta penduduk Indonesia tidak berdaya karena terjajah kecanduan nikotin. Kematian akibat konsumsi rokok tercatat lebih dari 400 ribu orang per tahun. Konsumsi rokok di kalangan remaja meningkat 144% antara 1995-2004.

Rokok telah menggerogoti sumber keuangan rumah tangga miskin. Data menunjukkan, keluarga miskin membelanjakan 12,4% pendapatannya untuk membeli rokok, dengan mengorbankan gizi keluarga, kesehatan dan pendidikan. Lebih dari 70% anak Indonesia terpapar asap rokok, dan menanggung risiko penyakit akibat rokok. Saat ini rokok menjadi musuh utama bagi semua negara beradab.

WHO menetapkan Kerangka Konvensi Pengendalian Tembakau (Framework Convention on Tobacco Control - FCTC) yang telah diratifikasi oleh 160 negara. Walaupun Pemerintah Indonesia turut menyusun FCTC, namun sampai saat ini belum meratifikasi. Atas dasar itulah mereka, mendesak Presiden dan Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia segera meratifikasi/mengaksesi FCTC dan membuat Undang-Undang Pengendalian Dampak Tembakau untuk melindungi rakyat Indonesia, khususnya generasi muda.

Lantas, bagaimana dengan iklan rokok Nidji itu? Sudah jelas, kemunculannya menghambat “perjoeangan” yang dilakukan oleh “Masyarakat Peduli Bahaya Tembakau” tersebut. Iklan rokok Nidji berbahaya secara kultural. Ia dengan gesit menyelinap disela-sela program tayangan televisi. Seolah tak berpengaruh apa-apa. Tapi jangan salah, tetap saja berpotensi merasuk dalam benak khalayak. Merujuk pada buku “Kleppner’s Advertising Procedure” karya Otto Kleppner (1990) kata iklan berasal dari bahasa Latin advertere yaitu “mengalihkan pikiran”. Nah, iklan tersebut mencoba untuk mencuri perhatian khalayak. Karena bintangnya Nidji, jelas sudah kaum muda menjadi sasaran iklan itu. Dan ini menjadi problem tersendiri.

Saya kira, dari kasus ini kita bisa belajar akan bahaya kultural dari iklan rokok, apalagi dibintangi oleh group band yang menjadi idola anak-anak muda. Dalam kesepakatan internasional industri rokok dunia, bahkan sudah melarang menggunakan artis atau selebritis sebagai bintang iklan demi membatasi sosialisasi untuk mengkonsumsi rokok. Di Indonesia, saya kira perlu juga diterapkan aturan serupa. Fakta-fakta tentang rokok yang dikutip diatas sudah cukup menjadi alasan bagi kita untuk ikut peduli terhadap aturan dan tata kelola peredaran rokok. Singkatnya, iklan rokok versi Nidji perlu dihentikan. Mungkin terlalu menyakitkan pihak Nidji dan produsen rokok, tapi apa boleh buat. Melindungi anak-anak muda dari racun tembakau adalah lebih utama. Sebuah pilihan tegas yang secara sadar perlu kita ambil. []

*Kolumnis, tinggal di Jakarta.