Selasa, 20 November 2007

Media dan Citra Politis

Media dan Citra Politis
oleh
Diyah Kusumawardani S.sos
(Aktivis Communicare Institute, Jakarta)
==
Transisi demokrasi di Indonesia diindikasikan terjadi semenjak berakhirnya kekuasaan Soeharto, yang kemudian diikuti dengan wacana reformasi yang didengungkan pergerakan mahasiswa tahun 1998. Untuk mencapai cita-cita reformasi tersebut, gerakan mahasiswa mencanangkan enam visi reformasi. Dimana visi keenam berbunyi “penegakan budaya demokrasi yang rasional dan egaliter, yang jauh dari budaya paternalistik dan berbagai sentimen primordial.”

Bunyi visi keenam inilah yang akhirnya memiliki banyak turunan makna. Salah satunya adalah kebebasan pers. Kebebasan pers ini mendapat pemaknaan yang luas. Salah satunya adalah kebebasan mengkonstruksikan realitas, dan satu-satunya yang menjadi patokan menurut Ibnu Hamad adalah kebijaksanaan redaksi (redactional concept) media yang dipengaruhi oleh kepentingan idealis, ideologis, politis atau ekonomi.

Ibnu Hamad juga menjelaskan, sebuah media yang lebih ideologis umumnya muncul dengan konstruksi realitas yang bersifat pembelaan terhadap kelompok yang sealiran; dan penyerangan terhadap kelompok yang berbeda haluan. Dalam sistem libertarian, sistem ini akan melahirkan fenomena media partisan dan non-partisan.

Dalam konteks ini, terbuka peluang sebuah media untuk bersikap partisan terhadap sebuah kekuatan politik, sehingga ia mempunyai khalayak yang setia. Sementara media massa yang berusaha berdiri di tengah semua kekuatan politik (non-partisan) cenderung memiliki khalayak yang lebih luas walaupun tidak selalu stabil. Dan media massa yang piawai memainkan lambang-lambang politik (tokoh politik, tanda gambar politik, cara melaporkan peristiwa politik, dan sebagainya) dari salah satu entitas politik, niscaya akan memperoleh perhatian dari segmen khalayak dengan ideologi politik mereka masing-masing.

Dampak dari proses konstruksi realitas ini adalah munculnya opini publik mengenai kehidupan politik. Opini, menurut Cutlip dan Center, adalah kecenderungan untuk memberikan respon terhadap suatu masalah atau situasi tertentu. Sedangkan publik menurut Herbert Blumer, merupakan sekelompok orang yang tertarik pada suatu isu dan terbagi-bagi pikirannya dalam menghadapi isu tersebut dan berusaha untuk mengatasinya.

Bentuk opini kehidupan politik itu adalah gambaran politik (political image) positif maupun negatif mengenai suatu realitas politik. Selanjutnya bagi komunikasi politik, opini publik ini akan memberi pengaruh terhadap pembelajaran politik, partisipasi politik, dan usaha mempengaruhi pejabat dalam pengambilan keputusan.(Ibnu Hamad)

Menurut Dan Nimmo, dalam proses pengkonstruksian realitas politik media memiliki dua kemungkinan: menjadi saluran komunikasi politik yang merefleksikan peristiwa-peristiwa politik yang terjadi atau menjadi agen politik dimana terutama para jurnalisnya bertindak selaku komunikator politik dalam kategori profesional. Perbedaan peran ini selanjutnya berpengaruh pada citra realitas politik yang dihasilkannya; dimana kalau seorang wartawan bertindak selaku komunikator politik profesional, ia akan lebih partisan dalam pengemasan realitas politiknya dibanding dengan mereka yang melakonkan diri sebagai pelapor peristiwa.

Tidak sedikit pers yang digunakan sebagai alat politik dari entitas politik tertentu. Karena bagi suatu kekuatan politik, sikap media (pers), entah netral atau partisan, adalah menentukan, terutama untuk tujuan-tujuan pencitraan dan opini publik. Sebab, di satu pihak ujung dari komunikasi politik adalah mengenai citra ini, yang banyak bergantung pada cara media mengkonstruksikan kekuatan politik. Sedangkan di pihak lain, media massa mempunyai kekuatan yang signifikan dalam komunikasi politik untuk mempengaruhi khalayak.

Media massa merupakan salah satu subsistem dari suatu sistem politik. Namun dalam geraknya, Ibnu Hamad menyimpulkan dari buku Empat Teori Pers,

“Media massa memiliki kekuatan sendiri dalam mempengaruhi sistem politik sehingga hubungan antara keduanya biasanya ditandai oleh dua hal. Pertama, bentuk dan kebijakan politik sebuah negara menentukan pola operasi media massa di negara itu, mulai dari kepemilikan, tampilan isi, hingga pengawasannya. Sistem politik yang dominan (baca: pemerintah) mempengaruhi sistem media, sehingga dapat disimpulkan bahwa sistem media yang berlaku di suatu negara adalah cerminan sistem politik (rezim) negara itu. Dan kedua, media massa menjadi sering menjadi media komunikasi politik terutama oleh para penguasa.”

Tidak selamanya media massa ditentukan oleh sistem politik, melainkan tergantung pada persebaran kekuasaan (power sharing). Dimana setiap kelompok sosial memiliki kesempatan yang sama terhadap media, sehingga media massa dapat menjadi saluran komunikasi politik untuk mempengaruhi sistem politik dan sebagai alat pencitraan kelompok sosial tadi.

Tidak ada komentar: