Kamis, 29 November 2007

Mencari Makna Dalam Belukar (Teks) Wacana

Mencari Makna Dalam Belukar (Teks) Wacana
Oleh: Suryanta Bakti Susila
[Aktivis Communicare Institute, Jakarta]


Membaca bagaimana Soeharto mampu berkuasa selama tiga dasawarsa lebih, Agus Sudibyo (1999) memperkenalkan dalil kuasa-pengetahuan Michel Foucault. Menurutnya, pengetahuan dan kekuasaan mempunyai hubungan timbal balik. Penyelenggaraan kekuasaan yang terus menerus akan menciptakan entitas pengetahuan, sebaliknya, penyelenggaraan pengetahuan akan selalu menimbulkan kekuasaan. Perspektif ini menjelaskan bahwa penyelenggaraan kekuasaan negara secara kontinyu membutuhkan sekaligus juga menghasilkan pengetahuan-pengetahuan resmi atau "kebenaran versi negara". Efek kuasa yang dihasilkan oleh pengetahuan terwujud dalam berbagai representasi wacana: buku, media cetak, film, pidato, dan lain-lain.

Pasca Orde Baru, seiring demokratisasi dominasi wacana menyebar dari negara kepada siapapun yang mampu mencipta sumber wacana mainstream. Sumber tersebut berupa media yang memiliki daya jangkau luas seperti TV, majalah, koran, portal yang populer. Seiring terbukanya kebebasan komunikasi tersebut kita hidup dalam sebuah dunia simbolik yang tidak pernah kita konstruksi sendiri. Kita mengetahui sebuah realitas terjadi dari (salah satunya yang paling massif) media massa, akan tetapi benarkah realitas yang ditampilkan itu objektif tanpa nilai subjektivitas penulis. Kita, (terutama) sebagai orang yang terlibat dalam ranah pergerakan yang tidak bisa tidak berhubungan dengan media massa perlu mengerti dan memahami “analisis wacana kritis”.

Aktivis mahasiswa akan sangat membutuhkan sumber bacaan yang luas. Sebuah keharusan mampu mengupas sebuah permasalahan secara komprehensif. Konsekuensinya, buku, artikel, jurnal ilmiah, serta media massa yang lain –baik yang sevisi ataupun yang tidak- harus dilahap semua. Dari sini analisis kritis terhadap wacana yang ditawarkan menjadi sebuah kemestian. Hal ini diperlukan agar kita tidak terjebak setting agenda “rival” yang mampu mengemas idenya dengan argumen yang meyakinkan.

Baiklah, mari kita berkenalan dengan “analisis wacana kritis”. Pada dasarnya, analisis ini merupakan studi analisis wacana yang terutama sekali mempelajari bagaimana kekuasaan disalahgunakan, atau bagaimana dominasi serta ketidakadilan dijalankan dan direproduksi melalui teks dalam sebuah konteks sosial.

Ada banyak model analisis wacana kritis. Salah satu model yang cukup populer diperkenalkan oleh Teun A van Dijk. Pakar studi wacana dari University of Amsterdam ini menawarkan sebuah model analisis yang menggabungkan pembahasan teks, kognisi (pengetahuan) penulis dan konteks sosial.

Wacana, menurutnya mempunyai tiga dimensi/bangunan: teks, kognisi sosial, dan konteks sosial. Dalam dimensi teks, yang diteliti adalah bagaimana struktur teks dan strategi wacana yang dipakai untuk menegaskan suatu tema tertentu. Pada level kognisi sosial dipelajari proses produksi teks berita yang melibatkan kognisi individu dari penulis. Sedangkan aspek ketiga mempelajari bangunan wacana yang berkembang dalam masyarakat akan suatu masalah.

Analisis kognisi sosial menekankan, bagaimana peristiwa dipahami, didefinisikan, dianalisis, dan ditafsirkan ditampilkan dalam suatu model dalam memori. Model ini menggambarkan bagaimana: 1) tindakan atau peristiwa yang dominan, 2) partisipan, 3) waktu dan 4) lokasi, keadaan, objek yang relevan, atau perangkat tindakan dibentuk dalam struktur teks.

Penulis selalu menggunakan model untuk memahami peristiwa yang tengah diliputnya. Strategi yang dilakukan adalah: 1) seleksi; 2) reproduksi; 3) penyimpulan; 4) transformasi lokal. Setelah melewati empat tahapan dalam benak penulis, teks yang terbentuk akan membentuk pemahaman tertentu sebagaimana penulis memahami peristiwa tersebut dalam suatu model tertentu.

Dengan memahami proses terbentuknya teks tersebut kita sebagai pembaca relatif lebih arif menyikapi sebuah tulisan. Misalnya saja mendapati pemberitaan yang menyudutkan dari sebuah koran lokal atas aksi demonstrasi yang kita lakukan, tidak perlu langsung menanggapinya secara emosional. Kita jernihkan dengan memakai metode di atas, selanjutnya melakukan counter dengan cara yang elegan. Hak jawab kepada media bisa menjadi pilihan bijak.

Tidak ada komentar: