Jumat, 02 Januari 2009

Menganalisa Kasus DEWA versus FPI dengan Tujuh Kriteria Wacana

Oleh Diyah Kusumawardhani
(sebuah tulisan lama saat masih kuliah)

Setelah membaca beberapa teks berita yang didapatkan dari media online, dapat dilihat adanya wacana sentimen religius dalam kasus ini. Yang pertama, Dhani menggunakan kaligrafi Lafdhul Jalalah (Allah) di dalam logo album barunya yang bertajuk Laskar Cinta. Penggunaan lambang ini, menurutnya, bukti kecintaan dia kepada Tuhannya (walapun sebelumnya dia sempat mengelak kalau logo tersebut merupakan kaligrafi tulisan Allah). Yang kedua, Dhani menginjak-injak logo tersebut dikarenakan logo tersebut dijadikan karpet atau alas panggung tempat kelompok musik DEWA tampil. Yang ketiga, pada saat Dhani manggung, ia menggunakan kalung Bintang Daud yang merupakan lambang Yahudi. Sehingga muncul wacana yang berkembang: “Dhani DEWA Antek Israel, Menginjak-injak Allah”.

Lambang-lambang yang dipermasalahkan diatas memiliki nilai historis bagi umat Islam. Yang pertama, kaligrafi Lafdhul Jalalah yang merupakan lafadz yang diagungkan. Kaligrafi ini terdapat di dalam buku The Cultural Atlas of Islam karya Prof. Dr. Ismail Raji al-Faruqi, pendiri The International Institute of Islamic Though, sebuah organisasi intelektual muslim di Amerika. Buku ini sudah diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia oleh penerbit Mizan, dan kaligrafi tersebut terdapat di halaman 84.

Yang kedua, penggunaan lambang Bintang Daud oleh Dhani, yang membuat ia dituduh sebagai antek Yahudi. Seperti yang kita ketahui bersama, Yahudi adalah musuh utama umat Islam. Bahkan Allah SWT akan melaknat siapapun yang mendukung maupun bekerjasama dengan mereka. Ditambah lagi Yahudi, dalam hal ini bangsa Israel, adalah musuh terbesar umat Islam dalam perebutan negara Palestina. Sehingga penggunaan lambang-lambang tersebut dianggap sebagai pendukung dari si empunya lambang.

Mengenai lambang atau tanda-tanda, Saussure menjelaskan, seperti dikutip di dalam Analisis Teks Media - Alex Sobur, bahwa persepsi dan pandangan kita tentang realitas, dikonstruksikan oleh kata-kata dan tanda-tanda lain yang digunakan dalam konteks sosial. Karena menurutnya, tanda membentuk persepsi manusia, lebih dari sekedar merefleksikan realitas yang ada.

Dari kasus diatas, jelas bahwa kaligrafi Allah tersebut memiliki nilai relijius yang tinggi bagi umat Islam. karena pembuatan kaligrafi itu pasti didasari dengan perasaan cinta si pembuat kepada Tuhannya. Dalam konteks ini, Dhani berusaha menunjukkan rasa cintanya kepada Allah SWT dengan memasukkan kaligrafi tersebut ke dalam logo albumnya. Namun insiden penginjakkan tersebut, membuat kecintaan Dhani DEWA kepada Tuhannya patut untuk dipertanyakan.

Sedangkan untuk kalung Bintang Daud, nilai historis umat Islam yang besar dengan bangsa Yahudi (bahkan semenjak zaman Rasulullah), telah mengakibatkan tendensi negatif terhadap siapapun yang menggunakan lambang atu atribut ke-Yahudi-yahudian. Sehingga, walaupun penonjolan wacana kalung Bintang Daud ini tidak dominan, tetapi cukup mempengaruhi wacana dominannya.

Analisa Menggunakan Tujuh Kriteria Wacana
Judul berita : “DEWA Belum Putuskan Tuntut Balik atau Maafkan FPI”
Sumber : www.kapanlagi.com
Teks berita :

Dewa Belum Putuskan Tuntut Balik atau Maafkan FPI

Kapanlagi.com - Logo Laskar Cinta kembli membuat grup musik papan atas Indonesia.

Dewa berhadapan dengan masalah. Front Pembela Islam (FPI), organisasi Islam yang dipimpin Habib Rizieq menyatakan keberatan logo yang bertuliskan kaligrafi tersebut dijadikan karpet untuk pementasan Dewa di sebuah stasiun TV. Tindakan tersebut dianggap melecehkan Islam, namun Dhani menyangkal bahwa dia beserta grupnya melakukan tindakan yang melecehkan Islam.
Pada awalanya yang pertama kali bereaksi atas kejadian ini adalah ustad Wahfiudin yang juga mengisi acara keagamaan di stasiun TV tersebut. Ustad segera menghubungi pimpinan stasiun TV sera membawa bukti buku The Cultural Atlas of Islam karya Profesor Doktor Ismail Raji Al Faruqi, dimana di buku tersebut terdapat kaligrafi Lafdhul Jalalah yang digunakan di logo Laskar Cinta.
Karena ini sebuah persoalan sensitif dan menyangkut keagamaan, maka Dhani menyampaikan ini pada Gus Dur yang juga tokoh agama. Ketua Dean Syuro Partai Kebangkitan Bangsa ini menanggapi persoalan ini hanyalah sebagai masalah kecil dan teknis. Gus Dur meminta pada habib Rizieq dan FPI untuk tidak mempersoalkan masalh ini lebih jauh lagi.
Dhani sendiri menyangkal bahwa dia dan Dewa bermaksud melecehkan Islam, menurutnya kejadian itu hanya sebuah ketidak sengajaan. Dhani menyayangkan FPI menilai sebaliknya. Kabarnya Dhani dan Dewa sedang berembuk untuk membuat keputusan, menggugat balik FPI dan Habib Rizieq atau memaafkan saja. (sc/erl)
http://www.kapanlagi.com/h/0000060349.html

Analisa :
1. Kohesi (cohesion) merupakan komponen yang berada di permukaan teks, atau hubungan antara teks dengan sintaksis (bagaimana kalimat – bentuk, susunan – yang dipilih). Bentuk kalimat yang terdapat pada judul “DEWA Belum Putuskan Tuntut Balik atau Maafkan FPI”, adalah kalimat aktif, karena menggunakan kata ‘atau’. Sedangkan sifat judul berita ini adalah kontroversi (bertentangan) karena penggunaan kata ‘atau’ tadi. Pemberitaan tersebut juga meyajikan beberapa fakta. Yaitu: (1) keberatan FPI terhadap kaligrafi Allah yang dijadikan alas panggung, (2) reaksi ustadz Wahfiudin terhadap lambang tersebut, (3) kunjungan Dhani ke Gus Dur untuk meminta bantuan penyelesaian masalahnya dengan FPI, dan (4) rencana menuntut balik FPI atau memaafkan.

2. Koheren (coherence) merupakan jalinan antarkata atau antarkalimat, yaitu bagaimana dua kalimat yang memiliki fakta yang berbeda dihubungkan sehingga tampak koheren (memiliki keterpaduan). Lihat paragraf 1. terdapat dua fakta yang berbeda yang dihungkan dengan kata ‘namun’. Fakta pertama, mengenai keberatan FPI (dalam hal ini disampaikan oleh Habib Rizieq) terhadap kaligrafi yang dijadikan alas panggung dan diinjak-injak grup musik DEWA sehingga tindakan tersebut dianggap melecehkan umat Islam. Fakta kedua, Dhani menyangkal melakukan tindakan yang melecehkan umat Islam. kedua fakta ini dihubungkan dengan kata ‘namun’, sehingga menimbulkan kesan pertentangan diantara keduanya.

3. Intensionalitas (intentionality) berhubungan dengan sikap dan tujuan dari si pembuat teks. Apa yang mereka inginkan dari sebuah teks? Atau bisa diartikan dengan bagaimana maksud dan motif redaksi dalam memproduksi teks. Berdasarkan teks, dapat dianalisa bahwa tujuan redaksi membuat teks ini adalah untuk memberitakan tindak lanjut atau langkah yang mungkin diambil grup musik DEWA terhadap FPI dan Habib Rizieq atas tuduhan melecehkan Islam. Wacana ini terlihat dari pemilihan kata dalam judul ‘Tuntut Balik atau Maafkan FPI’.

4. Akseptabilitas (acceptability) merupakan cerminan dari intensionalitas. Yaitu, apakah sebuah teks dapat berguna atau relevan bagi pembaca atau pendengarnya (tingkat penerimaan khalayak terhadap teks). Dalam konteks ini, pembaca atau pendengar teks dapat mempertanyakan pertanyaan-pertanyaan kecil yang sebenarnya sudah jelas tertera dalam teks. Bila dikaitkan dengan permasalahan ini, jika khalayak media adalah pengkonsumsi jurnalistik infotainment, maka teks berita ini cukup representatif baginya. Tapi bila khalayak media merupakan peminat di bidang seni kaligrafi, agama, dan hukum, maka teks berita ini kurang representatif bagi mereka. Maka akibatnya, mereka akan menambah informasi mereka dengan teks berita lainnya.

5. Informatifitas (informativity) mengarah kepada kuantitas dari berita atau informasi yang diharapkan didapatkan dari sebuah teks. Dari teks berita ini, terdapat beberapa informasi yang terangkum dalam fakta-fakta, yaitu: (1) keberatan FPI terhadap kaligrafi Allah yang dijadikan alas panggung, (2) reaksi ustadz Wahfiudin terhadap lambang tersebut, (3) kunjungan Dhani ke Gus Dur untuk meminta bantuan penyelesaian masalahnya dengan FPI, dan (4) rencana menuntut balik FPI atau memaafkan.

6. Situasionalitas (situationality) yaitu konteks sosial, bagaimana teks itu diproduksi sebagai upaya untuk merespon situasi atau konteks sosial tertentu. Teks berita ini dibuat, sebagai upaya merespon peristiwa insiden penginjakan kaligrafi Allah oleh grup musik DEWA. Peristiwa ini diangkat karena memiliki nilai berita dari dua kelompok yang saling berkontroversi. Yang pertama, adalah grup musik DEWA yang termasuk ke dalam grup musik papan atas di Indonesia yang selalu memiliki sensasi untuk ‘dijual’. Yang kedua, adalah Habib Rizieq dari FPI. Yaitu, ikon Islam dari kelompok garis keras yang terkenal dengan Laskar Jihad-nya. Kedua kutub yang bertentangan ini, bila dijadikan berita akan menimbulkan pangsa pasarnya sendiri.

7. Intertekstualitas (intertextuality) merupakan keterkaitan antara sistem nilai atau ide dengan realitas. Sistem nilai disini adalah Islam (reliji) yang direpresentasikan dengan kaligrafi Allah, dan realitasnya adalah insiden penginjakan kaligrafi ini. Saat melihat kasus ini dari kacamata Islam, maka dalil-dalil agama dan rasionalisasi agama yang akan berbicara. Seperti dosa, tergolong murtad, dsb. Dan rasionalisasinya adalah, jika penghina atau penginjak atribut atau lambang kenegaraan atau presiden saja bisa dipenjara, kenapa penginjak atribut ketuhanan tidak mendapatkan ganjaran di dunia. Sekalipun ia bertobat, lantas apa bedanya dengan pelaku tindak penginjakan atribut kenegaraan? Padahal hukuman dan taubat di dunia dapat mengurangi ganjarannya di akhirat kelak. Maka langkah paling rasional di dunia ini adalah dengan memperkarakannya ke meja hijau. Dan ketika dilihat dari kacamata hukum, maka pasal-pasal pelecehan kepada agama bisa digunakan untuk memperkarakannya. Namun jika dilihat dari kacamata seniman, maka mengganti logo album adalah solusi terbaik bagi Dhani DEWA

Menurut Alex Sobur dalam Analisis Teks Media, secara etimologis, ideologi berasal dari bahasa Greek, terdiri atas kata idea dan logia. Idea berasal dari kata idein yang berarti melihat. Idea dalam Webster’s New Colligiate Dictionary berarti “something existing in the mind as the result of the formulation of an opinion, a plan or the like” (sesuatu yang ada di dalam pikiran sebagai hasil perumusan sesuatu pemikiran atau rencana). Sedangkan logis berasal dari kata logos yang berarti word (huruf). Kata ini berasal dari kata legein yang berarti to speak (berbicara). Selanjutnya kata logia berarti science (pengetahuan) atau teori. Jadi ideologi menurut kata adalah pengucapan dari yang terlihat atau dari pengutaraan apa yang terumus dalam pikiran sebagai hasil dari pemikiran.

Antonio Gramsci dalam Alex Sobur mengemukakan, Ideologi bukanlah sesuatu yang berada di awang-awang dan berada di luar aktivitas politik atau aktivitas praktis manusia lainnya. Sebaliknya, ideologi mempunyai eksistensi materialnya dalam berbagai aktivitas praktis tersebut. Ia memberikan berbagai aturan bagi tindakan praktis serta perilaku moral manusia, dan ekuivalen dengan ‘agama dalam makna sekulernya, yaitu menyatunya pemahaman antara konsepsi dunia dan norma tingkah laku’. Dari pengertian tersebut saya menyimpulkan, ideologi merupakan seperangkat kategori yang dibuat untuk menjelaskan suatu keadaan dominan dari pihak berkuasa agar mendapatkan legitimasi dari orang-orang yang didominasi.

Kasus DEWA vs FPI ini jelas mengandung wacana ideologis. Jika memandang ideologis sebagai seperangkat kategori yang dibuat untuk menjelaskan suatu keadaan dominan dari pihak berkuasa agar mendapatkan legitimasi dari orang-orang yang didominasi, maka seperangkat kategori yang dominan itu adalah masalah (sistim nilai) agama (dalam konteks ini adalah Islam).

Indonesia merupakan negara dengan sistim politik sosial-relijius, sehingga faktor keyakinan dan keagamaan menjadi faktor utama dalam bermasyarakat. Agama Islam merupakan agama yang dominan di Indonesia. Namun ironinya, tidak semua (bahkan sedikit) media massa nasional yang mampu mengakomodir nilai-nilai keislaman tadi. Dari segi ideologi media, salah satunya Republika yang mampu mengakomodir isu-isu yang dilihat dari kacamata Islam. Sehingga walaupun dominan, dari segi wacana tetap saja marjinal. Contohnya kasus Dewa ini. Dari segi pemberitaan media hanya Republika yang mampu memandang dari sudut pandang Islam. Dan bila dikaitkan dengan praktik diskursif media, wacana ini tidak sampai jauh kesana, walaupun ada kemungkinan mengalami perkembangan menuju kesana.


Daftar Pustaka:
1. Analisis Teks Media - Alex Sobur
2. Analisis Wacana (Pengantar Analisis Teks Media) – Eriyanto
3. Methods of Text and Discourse Analysis – Stefan Titscher, dkk.
4. Komposisi – Gorys Keraf

Tidak ada komentar: