Oleh: Iwang Maulana
(Aktivis Communicare Institute, Jakarta)
Jamaknya sebuah media
Tribulasi dalam dunia “kurir informasi” di negeri, ini dari awal dicetuskannya sampai sekarang hanya satu…kebebasan menyalurkan nilai-nilai yang berserakan di segala penjuru dan pelosok negeri ini, agar diketahui khalayak yang pada akhirnya akan meng-upgrade siapa saja yang menerima pesan tersebut.
Seperti seorang manusia yang diuji Alloh dengan kesusahan dan kemiskinan agar dia lebih mendekatkan diri pada-Nya, akan lebih banyak orang yang lolos dari ujian tersebut ketimbang orang tersebut diuji dengan kakayaan dan segala kesenangan. Begitupun dengan media
Awal dicetuskannya media
Awalnya semua orang-bahkan insan media- menganggap bahwa kebebasan itu adalah cahaya terang kebangkitan pers dari jeruji pembredelan dan penangkapan penguasa negeri ini, namun makin kesini-menurut saya- persoalan justru timbul kembali, bahkan makin mengkhawatirkan.
Kebebasan pers sekarang ini, justru makin membawa dunia media
Kalau mau hitung-hitungan, dari semua media cetak dan elektonik yang ada, berapa banyak yang membuat cerdas masyarakat?,
dari point yang membuat cerdas tersebut?, berapa banyak yang konsisten?,
dari yang konsisten tersebut?, berapa banyak yang dibuat secara serius dan semenarik mungkin sehingga digemari masyarakat?
Lalu konversikan dengan tingkat pendidikan dan minat baca para penduduk negeri ini?
Bagai buah simakalama.... saat media dikekang ruang geraknya, setiap berita yang keluar hampir dapat dipastikan adalah hasil dari tekanan sang penguasa kepada media agar citra sang penguasa tersebut tetap baik, tanpa campur tangan insan media itu sendiri. Namun saat kebebasan media massa sudah dicapai seperti sekarang ini, yang memegang tali kekang pengatur media massa adalah kaum kapitalis yang hanya berorientasi kepada keuntungan pribadinya, tanpa mempedulikan tujuan dari media massa itu sendiri yang juga merupakan cita-cita para insan pers dan media.
Mengutip perkataan Andy F Noya dalam acara kick andy, ”sudah banyak program acara yang mengasah akal, namun sedikit program yang mengasah hati dan nurani”. Mungkin inilah akar permasalahannya-setidaknya menurut saya-, masyarakat terlalu banyak disuguhi ”program akal dan fikiran”-yang negatif-, sehingga nurani dan hati mereka menjadi minoritas peranannya dalam kehidupan sehari-hari.
Yang harus menjadi renungan kita bersama adalah, media massa bukan sekedar menyampaikan kepada masyarakat peristiwa dan pendapat yang mempunyai nilai berita, tanpa peduli itu akan berefek samping baik atau buruk, namun juga sebagai salah satu elemen terpenting dalam membentuk masyarakat tersebut berakhlak dan beradab juga cerdas dalam menjalani setiap kehidupannya, yang pada akhirnya akan membawa Indonesia menjadi bangsa yang maju. Tetapi... kalau dalam perjalanan sekarang ini tujuan itu makin sulit diraih dan harapan pun makin tipis, maka itu adalah tanda dari matinya media massa.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar